Urgensi Kebebasan Berfikir Dalam Islam
Urgensi Kebebasan Berfikir Dalam Islam
penasantri.eu.org - Agama Islam memberi posisi yang sangat besar kepada akal fikiran agar menjalankan perannnya, sehingga akal yang sehat dan berfungsi dengan baik merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu ibadah. demikian pula dalam memikul beban yang lain, baik sebagai akibat perbuatan sesorang maupun yang tidak dikaitkan dengan perbuatan orang, kondisi akal pikiran (dapat berfungsi atau tidak) sangat menentukan dalam memegang peranan, apakah beban itu dikenakan kepada seseorang atau tidak.
Dalam banyak ayat Al-Quran dan hadits, Nabi muhammad SAW selalu memberikan dorongan agar memfungsikan akal fikiran yang seluas - luasnya, antara lain Allah berfirman, yang artinya :
"Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang kejadian diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu itu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuannya dengan tuhannya".(Q.S. 30:8)
"Maka hendaklah manusia merenungkan dari apa ia diciptakan, dari air mani yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung rusuk".(Q.S. 86: 5-7)
Nabi Muhammad bersabda:
"Agama itu adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal (berfungsi baik)".
Demikian tingginya akal fikiran dalam ajaran islam bukan hanya soal duniawi saja, akan tetapi juga dalam soal - soal ukhrowi (keagamaan dan akhirat). Oleh karna hanya manusia yang dikaruniai akal fikiran yang sempurna melebihi makhluk lainnya, hanya manusia yang diberi tugas untuk memfungsikan akalnya seperti yang telah dikemukakan di atas, sehingga akan diperoleh ketinggian iman, disamping ilmu pengetahuan dengan pemanfaatan fikiran tersebut.
Agama islam seperti kita ketahuai terdiri dari dua kelompok besar yakni aqidah dan syariah. aqidah berisi keyakinan dan kepercayaan yang harus diyakini oleh setiap muslim. syariah adalah perbuatan orang-orang mukallaf yang sudah akil balig, yang dilakukan atas dasar kitabullah.
Dalam upaya mencapai iman yang mantap, dalam bidang aqidah, Orang diperintahkan agar banyak menggunakan fikiran mengenani makhluk Allah, agar dapat mengantarkan pada percaya dan iman terhadap ciptaannya. Antara lain, sebagaimana firman Allah :
"sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta perbedaan malam dan siang terdapat ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaanku) bagi orang yang (menggunakan) fikiran". (Q.S. 20: 190)
"Apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, beberapa banyak umat sebelum mereka, kami hancurkan mereka ditempat kediaman mereka berjalan, padanya sungguh terdapat ayat-ayat (tanda-tanda) bagi orang yang berakal". (Q.S. 3: 128)
Ayat-ayat seperti yang terdapat dalam Al-Quran di atas dan juga yang terdapat pada ayat-ayat lainnya (dalam arti tanda), kemudian dipakai terhadap fenomena alam yang yang banyak disebut-sebut dalam ayat kauniyah (cosmos), diperintahkan oleh Allah agar diteliti, diperhatikan dan difikirkan manusia untuk mengetahui rahasia yang ada dibelakang tanda - tanda itu. hal itu akan membawa kepada pemahaman fenomena - fenomen alam itu sendiri dan selanjutnya akan membawa kepada keyakinan yang kuat tentang adanya tuhan pencipta alam, dan hukum alam yang mengatur perjalanannnya.
Menurut pendapat ulama, untuk mencapai iman yang sah, seseorang wajib melakuakan nazhar (merenung, berfifkir, mengadakan penelitian). orang tidak boleh mendasrkan imannya hanya percaya semata - mata tanpa mengetahui dalil dengan menggunakan akal fikiran seperti diatas. walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa orang tersebut asal kepercayaannya mantap dan kuat, imannya sah. namun betapapun iman orang yang disebut itu masih tetap diperselisihkan ulama.
Dalam bidang syariah (hukum / aturan tentang perbuatan orang) yang mencakup sesama dan lingkungannya, ruang kebebasan berfikir bagi manusia sangat luas sekali. seperti kita ketahui bahwa ajaran islam sebagai agama terkhir yang dibawah nabi dan rosul terakhir, berlaku universal sejak diutusnya nabi Muhammad saw sampai akhir zaman. sebagai ajaran yang mempunyai jangakauan waktu dan daerah yang sanagat jauh, tidak akan memaparkan hal - hal yang detail kecuali dalam beberapa hal tertentu yang dipandangnya sangat perlu. uraian tentang sholat yang dinyatakan sebagai tiang agama tidak dijelaskan dengan detail, walaupun ada sunah nabi yang memaparkan penjelasan mengenai tentang itu, juga tidak lengkap. untuk memahami ajaran sholat selengkap seperti yang kiata lakuakn sekarang, memerlukan pengarahan kemapuan fikiran agar apa-apa yang tersurat dan yang tersiarat dibalik nas yang ada, baik dari nas Al-Quran maupun As-sunnah dapat terungkap, tentunya menurut kemampuan akal fikiran manusia. begitupula dengan aturan - aturan hukum atau norma - norma agama yang lain. misalnya zakat, puasa, haji, jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya.
Memang dijelaskan dalam Al-Quran bahwa Allah berfirman:
"kami tidak mengalfakan sesuatau apapun dalam kitab (Al-Quran) ini",
tentunya yang dimaksud adalah dengan secara garis besarnya saja, baik yang tersuarat maupun yang tersirat. bahkan yang hanya disebutkan saja, sedang pemahamannya lebih-lebih pemanfaatannya, diserahkan pada kemampuan akal fikiran manusia.
Khusus mengenai bidang hukum, sesuai dengan penelitian ulama', nash-nash (dalil-dalil) yang terdapat dalam Al-Quran maupun As-sunnah adalah terbatas sekali, yaitu tidak lebih dari 500 ayat dan 500 hadits yang terbesar dalam ribuan hadits yang ada. untuk memperluas cakupan ayat - ayat dan hadits - hadits tersebut sehingga memadai keperluan manusia, Al-Quran juga mengajarkan kepada umat manusia (yang memenuhi syarat) untuk melakukan ijtihad-ijtihad dan istinbath dari dalil-dalil ushul (pokok) tadi.
Allah berfirman: "andai kata mereka mengembalikan urusan itu kepada Rosul dan kepada Ulil Amri (ahlul halli wal akdi atau mujtahid) dianatara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahi kebenarannya (akan dapat) mengatahui dari mereka". (Q.S.4:83). Ayat ini merupakan ajaran untuk melakukan istinbath dan ijtihad dalam memahami ajaran agama islam, yaitu mengarahkan semua kemampuan pikiran orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk mengeluarkan hukum-hukum islam dari dalil-dalilnya.
Suatu kasus yang populer dalam hal ini, yaitu dialog antara Nabi Muhammad saw dengan sahabat Mu'adz sewaktu ia diutus Nabi saw ke Yaman untuk memegang jabatan hakim disana. "jika datang perkara kepadamu, dengan apa kau memutuskan ?" Dijawab Mu'adz: "dengan kitab Allah (Al-Qur'an)". "jika disana tidak ada ?" ujar Nabi dijawab pula oleh Mu'adz: "dengan sunnah Nabi". "jika disana juga tidak ada ?'' Dijawab pula "saya berijtihad (mengarahkan semua kemampuan fikiranku) untuk mencari hukumnya". Kemudian disambut oleh Nabi dengan doanya: "segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq pada utusan Rosul pada apa yang diridhoinya".
Dari uraian diatas kiranya dapat diketahui betapa besar islam memberi kebebasan berfikir dalam memahami ajarannya, baik dibidang Aqidah maupun dibidang Syari'ah.
Posting Komentar untuk "Urgensi Kebebasan Berfikir Dalam Islam"